Friday, December 25, 2009

Balkon (sebuah cerpen)


Jalan ini akrab dalam ingatanku. Jalan yang selalu kutempuh setiap kali aku pulang. Sudah lama aku tidak pulang ke rumah. Tidak hanya karena akhir-akhir ini aku lebih suka tinggal di kos, tapi juga karena alasan lain. Tak sadar kakiku telah melangkah ke depan pintu pagar. Aku hafal betul derit pintu pagar ini. Derit yang seakan menyambut kepulanganku. Begitu masuk ke rumah, aku mencium aroma masakan. Aku langsung tahu kalau Ibu ada di dapur. Sesampainya di sana, aku melihat Ibu sedang sibuk mempersiapkan makanan. Kami pun mengobrol sejenak.
“Besok siapa aja yang datang ke ulang tahun Ibu?”
“Biasalah. Paling om-om dan tante-tantemu. Di dan orangtua-nya juga datang besok.”
“O, dia datang juga,” ujarku datar.
“Ibu tahu kamu nggak suka Dika, tapi kamu kan belum benar-benar kenal dia. Siapa tahu dia cocok buat kamu. Ya udah kamu ke atas aja dulu. Kalau makan malam udah siap, nanti Ibu panggil.”
Dika. Kenapa Ibu harus menyebut nama itu. Nama yang dipaksa Ibu masuk dalam kehidupanku.

Kakiku melangkah melewati ruang tamu. Suasana rumah masih tetap sama, rapi dan bersih; susunan sofa, pernak-pernik di rak, karpet, lukisan, semua masih sama. Setibanya aku di lantai dua, ada rasa dingin yang menyergap. Aku ingin langsung masuk ke kamar, tapi kaki ini menyeretku ke sebuah tempat. Tempat yang sebenarnya tak ingin aku hampiri lagi. Tempat yang membuat rasa dingin itu semakin menusuk hatiku. Setibanya di sana, kakiku membeku. Mataku nanar memandangi setiap sudut tempat itu. Semua masih sama. Tiba-tiba kenangan-kenangan masa lalu menyergap pikiranku…

***

Rafi. Enam bulan lalu nama itu muncul dalam hidupku. Aku bertemu Rafi di chat room. Memang agak klise, tapi saat itu pembelaanku adalah bahwa “cinta bisa datang kapan saja dan di mana saja”. Yang paling gerah mendengar pembelaanku adalah Shera, teman terbaikku.
“Lo ketemu dia di chat room? Hari gini Ki, lo masih chatting?” reaksi Shera ketika aku menceritakan pertemuanku dengan Rafi.
“Lo kapan ketemu dia?”
“Seminggu yang lalu. Jadi…”
“Apa? Cinta bisa datang kapan saja dan di mana saja?” sergah Shera tanpa sempat memberiku kesempatan untuk menjelaskan.
“Aduh cheesy banget sih lo! Ki, yang namanya dunia maya tuh emang semuanya maya. Nggak nyata. Bisa aja si Rafi ini kakek-kakek peyot yang nggak laku-laku atau malah om-om senang yang lagi nyari mangsa.”

Begitulah Shera. Dia memang cerewet, tapi itu karena dia sangat perhatian terhadapku. Kami berbagi banyak hal. Aku bahkan menceritakan rahasia-rahasiaku kepadanya. Dia satu-satunya orang yang aku percayai saat itu.

Suatu hari sepulang kuliah, aku menerima sms dari Rafi. Ia berkata kalau ia akan meneleponku malam itu. Jantungku berdegup sedikit lebih cepat. Aku tak sabar menunggu malam tiba. Rafi menepati janjinya. Malam itu, kami mengobrol sampai jarum jam telah melewati angka 12. Dari obrolan itu aku tahu kalau Rafi adalah anak tunggal. Orangtuanya masih di Pontianak. Dia sudah tinggal di Jakarta sejak tiga tahun yang lalu saat ia diterima bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan farmasi. Rafi kos sendiri di daerah Tebet. Dia pernah clubbing, tapi tidak sering. “Malu sama umur,” ujarnya ketika ditanya mengapa ia tidak sering clubbing.

Keesokan malamnya, Rafi meneleponku lagi. Kami membicarakan banyak hal, dari film favorit sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Ia menceritakan kisah asmara yang pernah dialaminya. Aku pun menceritakan kisah “cinta”-ku yang telah lalu. Walaupun sudah berlalu dan aku juga sudah move on, tapi hatiku seakan masih memar akibat hebatnya dihantam oleh kekecewaan yang mendalam. Sejak hubungan yang terakhir itu, aku agak menutup diri. Aku takut kecewa lagi. Aku takut untuk mempercayakan hati ini bagi orang lain. Tapi saat aku “bertemu” Rafi, entah kenapa aku mulai belajar untuk memberikan hatiku bagi orang lain lagi. Rafi seakan mengerti apa yang aku alami dan dengan pelan-pelan, ia menghembuskan nafas kehidupan ke dalam hatiku yang telah mati. Aneh. Mungkin apa yang aku rasakan berlebihan. Mungkin aku terlalu cepat menilai, tapi yang jelas aku merasa nyaman. Tenang.

Hampir setiap malam Rafi meneleponku.
“Lagi di balkon?”
“Suka banget sih di balkon?”
“Habisnya kalo di tempat lain, takut didengar sama orang rumah. Nggak enak kalo sambil nelepon didengar orang rumah.”
“Iya juga ya. Ki…”
“Iya?”
“Mmm… besok mau ketemuan nggak? Kalau nggak bisa gapapa kok.”
“Bisa kok,” jawabku tanpa berpikir panjang.
“Emang besok nggak ada kerjaan?”
“Nggak kok. Aku kan lagi libur kuliah jadi banyak waktu kosong. Mau ketemuan di mana dan jam berapa?”
“Kalo besok sore jam delapan malam gimana? Di dekat kosku ada restoran seafood yang enak. Suka seafood kan?”
“Boleh…”

***

Jam tanganku menunjukkan pukul 19.48. Aku sudah menunggu Rafi sejak pukul 19.35. Aku memang sengaja datang lebih cepat selain karena takut terjebak macet, aku tak sabar bertemu Rafi. Mataku terpaku ke pintu masuk, menunggu Rafi untuk melangkahi pintu itu. Tiba-tiba handphone-ku berdering.

“Udah di mana?”
“Aku udah di dalam restoran. Kamu di mana?”
Sesosok pria memasuki restoran. Sambil menelepon ia melihat ke berbagai arah. Aku langsung tahu kalau itu Rafi. Aku segera melambaikan tangan. Benar, itu Rafi. Ia langsung memasukkan handphone ke sakunya sambil berjalan ke arahku. Sosok Rafi persis seperti apa yang kulihat di Friendster. Badannya tegap, dadanya bidang, pokoknya proporsional. Kepalanya yang dicukur botak sesuai dengan perawakan dan wajahnya yang terlihat dewasa. Ikat pinggang yang digunakannya juga serasi dengan polo shirt putih-nya yang dimasukkan rapi dalam jeans-nya yang berwarna biru gelap. Dia bukan pria paling tampan yang pernah aku temui, tapi buatku malam itu ia terlihat mempesona.
“Udah lama?” ucap Rafi setibanya di mejaku.
“Nggak kok. Takut kena macet jadi berangkat lebih awal.”
“O gitu. Udah pesan?”
“Belum.”
“Ya udah pesan dulu deh. Mbak!” panggil Rafi sambil mengacungkan tangan ke arah pelayan yang berada di depannya.
“Jauh ya?”
“Ga juga kok.”
“Trus trus…”
Aku tersenyum mendengar kata-kata itu. Aku biasa mendengar suaranya melalui telepon tapi kini aku langsung berhadapan dengannya. Ada perasaan aneh di dalam perutku. Seakan banyak kupu-kupu beterbangan. Kami makan sambil mengobrol. Tak terasa sudah jam sepuluh malam. Melihat aku yang terus melirik jam tangan, Rafi menanyakan apakah aku mau pulang.
“Mmm… udah malam sih. Takut nggak dapat angkot pulang.”
“Ya udah. Aku anterin ke tempat nunggu bis ya.”

Kami berdua berjalan meninggalkan restoran. Di bawah temaram lampu jalan, kami berjalan menyusuri trotoar. Aku ingin lebih lama lagi bersama Rafi. Sikapnya yang hangat dan dewasa membuatku nyaman. Tapi sayang kami sudah tiba di tempat biasa orang-orang menunggu bis. Karena belum ada bis yang datang, kami pun terus mengobrol sampai tak terasa sudah jam setengah sebelas.
“Kok nggak ada bis ya? Biasa di sini sering lewat.”
“Aduh, aku pulang gimana ya?”
“Mmm… kalo mau, kamu bisa menginap di tempat aku? Besok pagi-pagi kamu bisa pulang.”
Aku terdiam sejenak. Batinku bergolak.
“Maksudku, kamu bisa tidur di kamarku, aku bisa tidur di tempat lain,” ucap Rafi dengan cepat, berusaha meyakinkan kalau ia tidak bermaksud yang macam-macam. Aku terdiam sejenak.
“Ya udah deh,” jawabku.

***

Keesokan paginya aku bangun di tempat tidur Rafi. Dari arah kamar mandi, aku mendengar suara gemericik air. Aku menoleh ke samping dan mendapati Rafi sudah tidak ada. Dia pasti sedang mandi. Aku ingat sekali apa yang terjadi semalam. Aku ingat bagaimana bibirnya menyentuh bibirku. Aku ingat caranya melepaskan pakaianku. Aku ingat hangat tubuhnya. Aku ingat perasaanku saat kulit kami bersentuhan. Aku ingat desahan dan lenguhannya. Aku ingat semuanya…
“Ki…” panggil Rafi dari depan pintu kamar mandi.
“Mau mandi juga?”
Aku hanya mengangguk. Rafi berjalan menghampiri diriku yang terduduk di tempat tidur.
“Mmm… maaf ya.”
“Gapapa kok,” ucapku sambil mengusapkan tanganku di pipi Rafi.
Aku segera mengambil handuk yang terlipat rapi di atas meja samping tempat tidur. Setelah aku mandi, Rafi sudah berpakaian rapi dan duduk di sudut tempat tidur menungguku. Setelah itu, Rafi mengantarku sampai aku naik bis. Kami tidak banyak berbicara pagi itu.
Malamnya Rafi kembali meneleponku.
“Ki, aku mau minta maaf karena semalam. Aku…”
“Fi, gapapa kok. Aku ngerti. We’re both consenting adult and we’re aware of what we did.”
“Thanks. So we’re cool?”
“We’re cool,” jawabku sambil tersenyum.

***

Setiap malam saat aku berada di rumah, aku selalu menunggu telepon Rafi di balkon. Bila sedang di kos, maka aku hanya berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan suara Rafi yang lembut namun tegas.
Suatu malam saat aku sedang menunggu telepon dari Rafi, Ibu datang menghampiriku di balkon. Kami mengobrol sebentar. Saat itulah nama Di masuk dalam kehidupanku. Dika adalah anak Tante Sri, teman baik Ibu. Ibu berniat menjodohkan aku dengan Dika. Tentunya aku menolak, tapi Ibu terus mendesakku. Alasannya adalah, “Ya kalau belum dicoba kan belum tahu. Kamu coba jalanin dulu ya. Demi Ibu.” Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu. Semenjak tahu Ibu menderita kanker payudara, aku tak pernah tega mengecewakannya. Aku pun menuruti permintaan Ibu.
Beberapa hari kemudian, Tante Sri datang. Saat itulah aku pertama bertemu dengan Dika. Aku dipaksa Ibu mengobrol dengannya. Sejak saat itu, Ibu dan Tante Sri juga sengaja mengatur jadwal agar aku dan Dika bisa jalan bersama, entah itu ke mall atau hanya menemani mereka berdua arisan.

Aku tak bisa melupakan Rafi. Perasaanku terhadapnya semakin bertumbuh. Kami terus berhubungan melalui telepon. Aku selalu tertawa mendengar kelakarnya dan dia selalu mengucapkan kata-kata khasnya.
“Trus trus…”
“Apa? Gantian dong kamu yang cerita.”
“Ya udah deh. Mmm… Ki, sebenarnya ada yang ingin aku omongin sama kamu.”
“Ngomongin apaan?”
“Kamu inget nggak tentang rencanaku pindah kerja. Aku pernah ngomong itu sama kamu waktu kamu mmm… nginep di tempat aku.”

Aku terdiam sejenak. Aku ingat kalau waktu itu Rafi berkata kalau ia akan pindah kerja. Ia berencana bekerja di sebuah kapal pesiar. Ia mempertimbangkan gaji yang akan didapatnya bila bekerja di sana. Ia ingin mapan. Di usianya yang sudah memasuki kepala tiga, ia ingin bisa membeli rumah sendiri dan kalau mungkin menikah. Kami tidak pernah membicarakan rencana Rafi lagi sejak saat itu. Kini hal itu muncul lagi.

“Aku ngerti kalau kita udah berhubungan cukup lama. Ya itu juga kalau kamu menganggap dua bulan cukup lama. Ki, aku terus-terusan mikirin hal ini. Aku udah mulai suka sama kamu. I care about you. Tapi aku selalu diingatkan kalau hubungan kita akhirnya nggak bisa mengarah ke mana pun. Kita pasti akan pisah…”
“Kamu serius jadi pindah kerja?”
“Aku udah diterima di cruise itu dan lusa aku udah harus masuk pelatihan.”
Aku terpaku mendengar perkataan Rafi. Bibirku kelu. Otakku berputar cepat. Dadaku sesak. Aku selalu berpikir akan bagaimana hubunganku dengan Rafi akan berlanjut. Aku sadar betul kalau kami harus berpisah. Tapi aku membohongi pikiranku dengan berusaha meyakinkan diriku kalau semua itu bisa diubah. Keputusan Rafi bisa diubah. Bentuk hubungan kami juga bisa diubah. Tapi kini aku tersadar kembali kalau takdir tidak akan pernah berpihak pada kami.

Aku pun berbohong, “Aku ngerti kok Fi…” Ucapanku mengisyaratkan kalau aku menerima keadaan yang sedang kami hadapi, tapi aku tidak pernah bisa menerima kenyataan ini. ‘Tuhan nggak adil!’ Aku selalu berteriak dalam hati menyalahkan nasib yang tidak pernah berpihak padaku. Aku juga menyalahkan diriku yang begitu mudah percaya. Yang begitu cepat merasa nyaman. Aku dibohongi oleh diriku sendiri!

Tapi aku tidak jera. Aku meneruskan “hubungan”-ku dengan Rafi. Kami tetap mengobrol melalui telepon. Namun intensitas hubungan kami semakin berkurang. Rafi semakin sibuk karena pelatihan yang diikutinya sangat memakan waktu. Ibu pun semakin gigih mendekatkan aku dengan Dika. Dika memang baik, diacukup mandiri tapi aku tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Dika.

***

Suatu pagi saat aku mau berangkat ke kampus, handphone-ku berdering. Nama Rafi muncul di layar handphone. Belum sempat aku angkat, handphone-ku terlanjur mati. Ternyata baterainya habis. Tapi karena aku hampir terlambat masuk kelas maka panggilan dari Rafi tadi tidak aku hiraukan. Aku berpikir kalau ia pasti akan meneleponku lagi malam ini. Aku pun memanggil tukang ojek dan segera meluncur ke kampus.

Saat jam makan siang, aku meminjam handset Shera. Segera setelah aku nyalakan, aku melihat ada 4 sms yang belum aku baca.

From: Rafi
Ki, td aku telp km, tp ga diangkat. Kalo ud trm sms ku, telp aku ya ASAP.
From: Rafi
Ki, km gpp kan? Kok hp km blm aktif.
From: Rafi
Ki, aku perlu ngomong sm km. plis hub aku stlh hp km aktif.
From: Rafi
Ki, aku mnt maaf. Aku ga pgn bikin km sakit hati. Aku jg ga bharap utk b’akhr gini. Aku hrs brgkt blayar skg. Aku ga tega ngasi tau km sblmnya. Aku bnr2 mnt maaf Ki.

Jantungku seakan berhenti berdetak saat membaca sms terakhir dari Rafi. Tanganku gemetar. Jempolku terus kugerakkan ke atas dan bawah, terus membolak-balik pesan dari Rafi. Huruf-huruf dalam sms itu menjadi kabur. Otakku kacau. Segala macam pikiran beradu dalam otakku. Kemungkinan yang selama ini selalu kutepis dari pikiranku, yang selalu kuharapkan tidak pernah terjadi, akhirnya terjadi juga.

Setelah mulai bisa memusatkan pikiranku, aku langsung menekan tombol-tombol handphone, berusaha menghubungi Rafi, terus dan terus. Tapi yang kudengar hanya suara voicemail. Aku kesal. Kesal mengapa Rafi tidak menjawab panggilanku. ‘Bego! Kenapa handphone nggak gue charge semalam! Kenapa tadi Rafi gue cuekin! Kenapa nggak langsung gue telepon aja tadi!’ pikiranku berkecamuk.

Akhirnya aku menyerah. Ya, aku kalah. Kalah pada nasib yang selalu jahat padaku. Aku menyalahkan takdir. Kenapa takdir membiarkan Rafi pergi. Kenapa takdir harus mempertemukan aku dengan Rafi. Aku pun menyalahkan diri sendiri. Kenapa aku semudah itu percaya. Percaya pada kenyataan yang jelas-jelas tidak mungkin terjadi. Aku membohongi diriku sendiri.

Semenjak saat itu, aku jarang pulang ke rumah. Aku enggan menghampiri tempat aku dan Rafi biasa “bertemu”.

***

Dua bulan telah berlalu. Dan ini pertama kalinya aku menghampiri balkon rumah sejak Rafi pergi. Kini aku hanya duduk terpekur, merenung dan memandangi layar handphone-ku. Aku selalu berharap nama “Rafi” akan muncul di layar handphone-ku. Aku juga selalu berharap ada orang yang menampar dan menyadarkanku kalau itu harapan kosong. Hampa.

Dinginnya udara bulan Desember tidak dapat menandingi pilunya sayatan dalam hatiku. Setiap sudut tempat aku biasa berdiri sambil berbicara dengan Rafi mengiangkan kata-kata yang pernah aku ucapkan padanya.
“Mas! Mas Rizki! Dipanggil Ibu tuh. Disuruh makan. O iya, kata Ibu jangan lupa telepon mbak Dika buat ingetin soal besok,” panggil adikku.
Pikiranku buyar.
“Iya, bentar. Kamu duluan aja, nanti Mas nyusul.”

Aku pun bangkit dan berjalan mengarah ke ruang makan. Aku menoleh sejenak memandang balkon itu, tempat yang akan selalu dingin bagiku.

*******
-LSy-