Friday, December 25, 2009

Cerita Kolam (sebuah cerpen)

Langit sore ini terlihat mendung. Padahal tadi siang teriknya matahari sampai membakar tengkukku. Mungkin sebentar lagi hujan. Tapi tak masalah. Aku memang tidak suka berenang di bawah panggangan sinar matahari. Lebih baik seperti ini. Sudah hampir satu jam aku berenang. Setiap satu putaran aku berhenti dan terengah-engah sejenak. Memang sudah lama aku tidak berenang jadi wajar bila setiap kali aku sampai di sisi kolam, napasku berkejar-kejaran. Sekarang aku sedang menikmati duduk di samping kolam. Kedua kakiku ada di dalam air sambil kusepakkan pelan-pelan. Kuperhatikan riak yang ditimbulkan oleh sepakan kakiku; tidak beraturan memang. Aku pun berhenti menggerakkan kaki-kakiku.

Kini kubiarkan mataku menyapu seluruh kolam. Air kolam sore ini memang tidak tenang. Ya wajar saja, ada beberapa orang yang sedang berenang. Tidak ramai memang tapi juga tidak bisa dibilang sepi. Setiap gerakan kaki, sapuan tangan dan liukan tubuh para perenang itu menimbulkan riak. Tiap orang seakan menghasilkan riak yang berbeda. Mataku seakan terpaku pada riak air kolam. Ombak-ombak kecil yang bergulung dan tersusun tak teratur seperti gunung-gunung kecil dengan lembah-lembah di antaranya. Satu gunung runtuh, gunung lain bertambah tinggi. Satu lembah menghilang, lembah lain naik menjadi gunung. Aneh, mengapa aku memperhatikan kumpulan massa air yang bergejolak ini? Aneh memang, tapi aku merasa air ini sedang becerita. Cerita tentang orang-orang yang ada di dalamnya. Tentang mereka yang menyentuh air ini, menghembuskan napas di dalamnya dan membiarkan diri mereka dibalut olehnya.

Di depanku, di tepi seberang sana, ada seorang anak kecil yang terlihat ragu-ragu melompat ke dalam kolam. Di dalam kolam, tak jauh dari si anak, seorang lelaki mengulurkan tangannya ke depan seolah ingin menangkap si anak. Kuperhatikan, jarak si lelaki dan si anak memang tidak jauh, tapi sejauh-jauhnya anak itu melompat, tak mungkin langsung sampai ke pelukan si lelaki yang kutebak adalah ayah si anak. Si anak pun melompat sambil memejamkam mata. Lompatan kecil. Riak airnya sampai ke kakiku. Si anak kini di dalam air. Badannya yang dibungkus pelampung seakan berjuang untuk membantu otaknya mengatasi rasa takut dan mencari cara agar sampai ke pelukan ayahnya. Sang ayah dengan senyum dan suara yang menenangkan mengapai si anak dan memeluknya. Ia tertawa sambil memuji anaknya yang sedikit mengigil dan terengah-engah. Aku hanya tersenyum sinis. Beruntungnya anak itu memiliki ayah yang memujinya, mendorongnya untuk terjun dan lebih penting lagi, ada untuk dia.

Tak jauh dari ayah dan anak itu, ada sekumpulan lelaki muda bersenda gurau di sisi kolam. 5 orang, kalau tidak salah. Yang empat di dalam kolam dan yang satu di atas, di tepi kolam. Menurutku yang di atas kolam cukup tampan. Proporsi badannya sempurna dengan bentukan otot perut, dada, tangan, dan kaki yang terlihat jelas. Celana renang yang dikenakannya pun terlihat mahal. Mereknya yang terkenal terpampang di bagian belakang celana renang itu, seakan berteriak kepada semua yang melihatnya. Tak perlu aku membeli celana renang semahal itu, yang aku pakai sekarang sudah cukup. Si lelaki ini tidak sekali pun menceburkan dirinya ke dalam air. Ia hanya bercanda dan mengobrol dengan teman-temannya. Ketika mereka sedang berenang ke sisi lain, ia sibuk melakukan push-up, sit-up atau gerakan-gerakan olahraga lain yang tidak aku ketahui namanya. Mas, mas, apa yang kau lakukan sekarang tak bisa membuat air itu beriak. Sesekali ia memperhatikan otot-otot di perut, dada, atau tangannya. Sombong benar dia, merasa bahwa kemolekan badaniah adalah yang utama. Orang yang picik dan berpikiran sempit. Banyak orang seperti itu, di jalan dekat rumahku, di tempat kerjaku, di SMA-ku dulu. Mereka yang merasa bahwa maskulinitas adalah yang utama, yang merasa diserang bila ditanya mengenai identitas seksual mereka, yang tidak jelas dipakai untuk apa tubuh dengan pahatan-pahatan itu. Biarlah, biar mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Di depanku lewat seorang perempuan muda. Ia berenang dengan penuh keanggunan. Bayangan tubuhnya yang kulihat dari atas air, tercetak indah dengan liukan tubuh bak ikan yang sadar bahwa air memang dunianya. Gerakannya pelan dan santai. Ia terlihat nyaman dan tenang. Baginya air ini adalah dunianya sekarang. Tak peduli apa yang orang lain perbuat atau katakan, sekarang ia hanya ingin berenang. Riak air dari gerakannya sampai ke kakiku. Setelah sampai di sisi kolam, perempuan itu segera mengangkat badannya ke atas kolam dan mengambil handuk lalu membalutkan handuk itu menutupi dada hingga pahanya. Molek benar tubuhnya. Iri aku dibuatnya. Tak mungkin aku punya tubuh semolek itu, karena memang aku bukan perempuan.

Sambil memperhatikan gerak gemulai perempuan itu, mataku tak sengaja melihat seorang kakek yang sedang berenang dekat tempat perempuan tadi naik ke atas kolam. Si kakek berenang sendiri. Gerakannya terlihat kaku dan ragu-ragu. Tiap beberapa gerakan, ia berhenti. Satu tangannya memegang tepi kolam, tangan lainnya mengusap wajahnya yang basah. Kemudian ia berenang lagi dan berhenti lagi. Pelan, tertatih-tatih dan ragu-ragu ia berenang. Biasanya seorang kakek berenang dengan keluarganya. Sambil bermain ia akan mengajari cucunya berenang. Tapi kakek ini sendiri. Riak air dari sapuan tangannya sampai ke kakiku. Ketika riak itu menyentuh kakiku, aku menggigil. Ada sedikit rasa takut, rasa dingin yang menjalar dari kaki sampai ke seluruh tubuh. Aku tidak mau seperti si kakek. Sendiri, lemah dan tidak berdaya di masa tuaku nanti. Tiada teman apalagi keluarga yang menemani. Siapa juga yang mau dengan senang hati menemani orang seperti aku? Uang, mungkin itu yang bisa membuat mereka mau menemaniku nanti di masa tua. Tapi buat apa aku pikirkan masa tua sekarang. Usiaku saja belum genap 25.

Lampu-lampu di sekitar kolam kini dinyalakan. Kulihat jam dinding yang terpajang di dekat ruang ganti di sisi seberangku. Jam 6 rupanya. Cukuplah aku berenang kali ini. Aku harus berangkat kerja sebentar lagi. Malas aku berjalan memutari kolam untuk sampai ke sisi seberang. Kuceburkan saja badanku ke dalam kolam dan membiarkan otakku mengendalikan gerakan tangan, kaki, dan tubuh ini. Aku hanya bisa dua gaya: gaya bebas dan gaya katak. Bebas, karena itulah hidup yang kuinginkan. Bebas dari tekanan orang tua, bebas dari gunjingan tetangga-tetanggaku yang sesayup terdengar tiap kali aku melintas di depan rumah mereka, bebas dari segala bentuk pandangan orang tentang diriku. Ini aku, terserah mereka mau bilang apa. Katak, karena bagaikan hewan kecil itu aku hidup di dua dunia. Di malam hari ku jalani duniaku. Dunia yang menyediakan nasi dan lauk setiap hari di meja makanku. Siang hari aku lewati sambil menunggu malam hari. Hidup sebagai diriku di tengah kerumunan manusia di kota yang padat ini. Tak usah orang-orang siang tahu tentang dunia malamku dan mereka yang kujumpai di malam hari pun tak peduli dengan dunia siangku. Tangan terus kusapukan. Kaki terus kuhentakkan. Sesekali napas kuambil dan kubiarkan diriku meluncur di air yang beriak. Tak tahu aku apakah riaknya sampai ke orang-orang yang berenang di sekitarku. Atau apakah mereka juga peduli dan ikut memperhatikan bahasa air sambil ia beriak dan bergelombang di dalam sebuah kotak biru besar ini.

Akhirnya aku sampai di sisi kolam. Kuangkat tubuhku dari dalam air. Sekali hentakan membuat air mengalir turun dari wajah, bahu, perut, sampai ke jari-jari kakiku. Kukibaskan tangan dan kakiku. Kuusap air dari wajah sambil kuberjalan menuju rak tempat tasku kusimpan. Kusambar tasku dan melangkah ke kamar ganti. Agak besar tas yang kubawa karena aku memang berencana untuk langsung ke tempat kerja setelah selesai berenang. Kini aku selesai berganti pakaian. Malas aku mandi sekarang, nanti saja di tempat kerja. Toh aku pun akan berkeringat lagi saat naik bis kota nanti. Kuperiksa lagi tasku. Gaun hitam, ada. Pakaian dalam berenda yang akan kukenakan nanti, ada. Alat-alat rias, ada. Stiletto, ada. Semua lengkap. Kutinggalkan kolam renang dengan airnya yang beriak itu. Riak yang berbicara dan menceritakan kisahnya.

-LSy-