Friday, December 25, 2009

Berdamai dengan Dinda (sebuah Cerpen)

Namanya masa lalu. Ia bernyawa. Ia ingin diingat dan ia memastikan kalau ia tidak dilupakan…

Tirta terbangun dari tidurnya. Jam weker belum berbunyi, tapi kelopak matanya menolak untuk tertutup lagi. Ia menengok ke sebelah kiri. Amanda sudah tidak ada. ‘Pasti di dapur,’ pikirnya. Tirta pun bangkit dari tempat tidur. Dimatikannya weker dan ia melangkah ke kamar mandi. Di depan kaca wastafel, ia berhenti sejenak. Ditatapnya sepasang mata sayu di hadapannya. Ia masih terbayang mimpi semalam. Mimpi yang membawanya kembali ke ruang-ruang kelas SMA-nya. Mimpi yang mengingatkan kembali wajah-wajah yang pernah dikenalnya. ‘Cuma mimpi,’ bisik Tirta berusaha membawa rohnya kembali ke kehidupan nyata. Tirta segera menyambar handuk yang tergantung di samping wastafel, menyalakan pancuran dan kini tubuh telanjangnya dihujani butiran-butiran air hangat.

Tak lama pancuran pun dimatikan. Ruang itu kini dipenuhi aroma maskulin yang memabukkan. Memabukkan bagi wanita manapun untuk dapat jatuh dalam pelukan Tirta. Tapi pelukannya sudah dikuasai oleh seorang wanita yang saat ini sedang menuangkan kopi ke cangkir Tirta.

Tirta mengenal Amanda tujuh tahun yang lalu, sejak mereka bertemu di sebuah pameran kerja. Angka tujuh adalah angka keberuntungan bagi mereka. Tak ingin kehilangan keberuntungan, mereka pun menikah setelah tujuh tahun berpacaran. Enam bulan sudah mereka mengucap janji dan Amanda tetap setia menuangkan kopi ke cangkir suaminya setiap hari sebelum sang suami berangkat bekerja.
“Nanti malam makan di rumah?” tanya Amanda.
“Belum tahu, lihat kerjaan hari ini dulu. Nanti sore aku kabarin deh,” jawab Tirta sambil membolak-balik lembaran koran pagi.

Setelah puas menyantap setangkup roti tawar yang dibalur mentega, Tirta menyambar tas kerja, mencium kening istrinya dan berjalan ke arah garasi. Ia segera menyalakan mesin mobil. Setelah cukup panas, mobil itu dibawanya menyusuri jalanan pagi Jakarta yang sudah dipenuhi hiruk-pikuk kendaraan.
Semua berjalan biasa di kantor Tirta. Tumpukan data yang harus dikompilasi, rapat dengan atasan, proposal-proposal yang harus dicek, semuanya biasa. Bagi Tirta biasa itu bagus. Ia puas dengan semua hal yang biasa dan ia tidak ingin menambah atau mengubah semua yang biasa itu. Hampir seharian Tirta di depan komputer. Angka-angka dan kata-kata dari kertas-kertas di mejanya memenuhi pikiran Tirta. Tapi sesekali terbersit cuplikan dari mimpinya semalam. Ia merasa tidak biasa dan itu tidak baik baginya. Tirta merasa mimpi itu seakan berusaha berkomunikasi dengannya. Firasat? Pertanda? Entahlah.

Sudah pukul tujuh. Tirta lupa mengabari Amanda kalau hari ini ia akan pulang telat. Tapi tak mengapa. Makanan pasti akan tetap tersedia di meja saat dia pulang nanti. Jalanan Jakarta tidak terlalu bersahabat malam itu, butuh dua jam bagi Tirta untuk bisa sampai ke rumahnya. Saat ia sampai di rumah, Amanda sedang duduk di ruang tamu sambil menonton TV.
“Maaf ya, tadi lupa kasih kabar,” ucap Tirta sambil mencium kening istrinya.
“Lagi banyak kerjaan ya?”
Tirta hanya mengangguk. Pikirannya penat. Matanya menatap ke layar TV, tapi pikirannya entah ke mana. Amanda beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan ke dapur untuk menghangatkan makanan bagi suaminya.
“O iya, ada kiriman paket buat kamu. Aku taruh di sebelah TV,” seru Amanda dari dapur.
Perhatian Tirta beralih ke sebuah kotak berwarna cokelat di samping TV.
“Dari siapa?” tanya Tirta.
“Ngga tahu. Di situ ngga ada alamat pengirimnya. Lauknya udah aku panasin. Aku langsung tidur ya. Besok pagi-pagi mau ke rumah Ibu.”

Tirta segera mengambil kotak itu. Ukurannya tidak lebih besar dari sebuah kotak sepatu. Kotak itu ia bolak-balik, tapi ia tidak menemukan tulisan lain selain alamat rumahnya. Tirta merobek kertas cokelat yang membungkus kotak itu. Hanya sebuah kardus kecil biasa. Ia membuka kardus itu dan terperangah melihat sebuah buku yang tersimpan dalam kotak itu. Buku itu ia keluarkan dari kotaknya. Jantungnya berdetak keras. Darah mengalir cepat ke otaknya. Ia mulai berkeringat. Ia kenal benar buku itu. Buku itu milik Dinda. Tirta tidak tahu siapa yang mengirim buku itu. ‘Tidak mungkin Dinda,’ pikirnya. Karena Dinda sudah meninggal.

Tirta tidak bisa tidur malam itu. Ia berbaring tapi pikirannya menerawang. Ingatan-ingatan masa lalu berdesak-desakan masuk dalam otaknya yang berusaha menahan kembalinya kenangan-kenangan yang ingin ia lupakan. Ia pun akhirnya tertidur.

Ia melihat ruang kelas. Itu bukan ruang kelasnya. Di ruang kelas itu tidak ada apa-apa kecuali sebuah meja dan sebuah bangku. Sesosok gadis berpakaian putih abu-abu duduk di bangku itu. Kepalanya menunduk ke arah meja. Ia sibuk menulis sesuatu. Tiba-tiba terdengar isak tangis. Tirta terdiam. Gadis itu pun mengangkat wajahnya. Dari sudut matanya yang hitam legam, mengalir cairan berwarna merah yang kental. Ia menatap Tirta. Tirta terperanjat. Ia terbangun.
‘Astaga… mimpi apa aku tadi,’ tirta berusaha menyadarkan dirinya. Dilihatnya jam weker di meja samping tempat tidur. Jam sembilan. Amanda sudah tidak ada. Pagi-pagi benar ia sudah berangkat ke rumah Ibunya. Tirta bangkit dari tempat tidurnya lalu membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari keran wastafel. Wajah gadis itu masih tergiang dalam ingatan Tirta. Tapi Tirta berusaha menepis ingatan itu. ‘Cuma mimpi,’ bisiknya dalam hati.

Hari sabtu itu, Tirta menghabiskan waktunya dengan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kantor yang dibawanya pulang. Ia sendiri di rumah. Amanda baru akan kembali satu minggu lagi. Sesekali ia melirik buku milik Dinda yang dibiarkannya tergeletak di meja kerja. Ia tidak ingin membuka buku itu, tapi ia juga tidak berani membuangnya. Ia berusaha tenggelam dalam pekerjaannya, tapi semakin dia berusaha berkonsentrasi pada pekerjaannya, semakin kuat godaan untuk melihat isi buku itu. Ia tahu benar apa yang tersimpan dalam buku itu, kenangan tentang Dinda yang berusaha dilupakannya. Pikiran Tirta bergumul keras. Sudah bertahun-tahun hatinya terbelenggu oleh rasa sakit akibat satu nama, Dinda. Ia ingin lepas dari penjara itu, tapi ia juga tak sanggup menghadapi rasa sesak setiap kali ia mengingat masa lalunya dengan Dinda. Akhirnya Tirta menyerah. Halaman pertama dibuka dan masa lalu pun menyeruak keluar.

---...---

“Tir, foto kita aku pasang ya di bukuku,” ucap Dinda manja.
“Jangan dong. Aku malu kalau dilihat sama teman-teman kamu.”
“Kok malu? Kamu kan pacar aku, ngapain malu.”
“Ya udah deh. Aku lihat ya bukunya.”
Tirta membolak-balik buku dengan hard cover berwarna cokelat bermotif daun maple itu.
“Apa aja yang kamu catat di sini?”
“Semua. Dari kegiatan sehari-hari aku, waktu aku ketemu kamu, waktu kita jadian, bahkan kalau aku lupa bawa buku catatan pelajaran, aku catat aja di sini. Lihat nih, ada catatan pelajaran Kimia Bu Titi.”
“Hahaha… dasar kamu.”
Tirta sayang pada adik kelasnya yang manja ini. Mereka sudah “jadian” lebih dari enam bulan. Tapi mungkin juga enam bulan adalah batas waktu bagi mereka.

---...---

“Kamu beneran mau berangkat sekarang?”
Tirta tak kuasa melihat mata Dinda yang berkaca-kaca.
“Din, Depok-Bandung ngga jauh kok. Aku bisa sering pulang untuk ketemu kamu.”
Dinda terisak. Tirta mengusap pipi Dinda yang merona merah.
“Aku janji untuk sering pulang ke Bandung. Satu tahun lagi kamu nyusul ke Depok ya,” bujuk Tirta untuk menenangkan Dinda.
Dinda hanya mengangguk sambil terisak. Tirta pun merangkul Dinda.. Walaupun ia tahu mereka bisa bertemu lagi nanti, tetap saja Tirta berat untuk melangkah meninggalkan Dinda. Tirta tidak pernah lupa saat ia harus berpisah dengan Dinda Tak pernah lekang dalam ingatan Tirta mata cokelat Dinda yang dipenuhi air mata saat mereka berpisah, bahkan sampai sekarang.

---...---

Tirta kini duduk di samping kasurnya. Kasur tempat ia tidur semasa kecil. Tirta telah memutuskan untuk pulang ke Bandung. Ia berusaha menyelesaikan apa yang telah dimulainya bersama Dinda. Masalah kantor pun bukan prioritasnya lagi. Kini yang penting baginya adalah Dinda.

Buku harian Dinda terus ia baca. Ia berhenti sejenak pada satu halaman. Halaman itu menceritakan suatu kejadian saat Dinda mengunjungi Tirta di kampus. Hatinya pedih mengingat hal yang menimpa Dinda. Apa yang mereka lakukan saat itu indah dalam pandangan mereka. Salah tapi indah. Sampai sekarang ia tak pernah berhenti menyalahkan dirinya sendiri.

---...---

“Kamu ke sini sendiri?” tanya Tirta yang kaget melihat Dinda datang ke kampusnya.
“Iya dong,” jawab Dinda yang terlihat bangga.
“Aku senang banget bisa ketemu kamu. Udah makan belum?”
“Belum.”
”Ya uda, kita ke kantin ya,” ajak Tirta sambil menggandeng Dinda.
Di kantin kerucut itu mereka melepas rindu. Sudah berbulan-bulan Tirta tidak pulang ke Bandung. Berbulan-bulan juga mereka tak saling bertukar kabar.
“Tir, ayah aku ngga ngasih aku kuliah di Depok.”
“Kenapa?”
“Dia ngga ngasih alasan yang jelas. Katanya jauh lah, ngga ada kenalan di sana lah. Aku mau banget bisa kuliah sekampus sama kamu.”
“Ya uda nanti aku coba ngomong sama ayah kamu.”
“Percuma Tir… Coba ayahku masih hidup…”
“Hus! Jangan gitu dong. Biar ayah tiri, tapi dia tetap ayah kamu. Ya udah, pokoknya nanti aku akan tetap coba ngomong sama ayah kamu. O iya, malam ini kamu nginap di mana?”
“Kalau di tempat kamu boleh? Besok pagi aku langsung pulang ke Bandung.”
Tirta terdiam sejenak.
“Benar nih?”
Dinda pun mengangguk.

---...---

Tirta terus membaca buku harian Dinda halaman demi halaman. Ia kembali berhenti pada satu halaman. Tangannya bergetar. Ia seakan mendengar suara Dinda. Suara manja yang selalu manis di telinganya. Suara yang kini terdengar seperti jeritan dan dakwaan yang memekakkan gendang telinga Tirta. Tirta tak tahan. Ia menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya. Ia berusaha memejamkan mata sekuat-kuatnya, berusaha menghilangkan bayangan Dinda. Ia merasa bersalah karena telah menyebabkan Dinda bunuh diri.

Ia ingat betul hari itu. Karena sudah lama tidak pulang ke rumah, Tirta menelepon Ibunya untuk sekadar memberi kabar. Saat itulah Tirta diberi tahu kalau Dinda, gadis manja yang selalu dicintainya telah meninggal. Hati Tirta hancur, terlebih saat ia tahu Dinda mati bunuh diri karena tidak tahan mendapat tekanan dari keluarganya yang tahu bahwa Dinda hamil. Remuk sudah hati Tirta. Ia tak pernah berhenti menyalahkan dirinya. Kalaupun ia berusaha membela diri, pikirannya terus mendakwanya. Ia tahu kalau bukan karena dia, Dinda tidak akan hamil. Ia sungguh menyesal bahkan sampai hari ini.
Tirta berusaha melupakan masa lalunya, tapi kini tampaknya masa lalu itu yang mengejarnya. Buku harian Dinda yang “mendatanginya” seakan menjadi pertanda yang kuat kalau Dinda ingin membalas apa yang diperbuat Tirta. Bukan membunuh Tirta, tapi menyiksa Tirta dengan perasaan sesal, dakwaan, dan siksaan yang akan terus menghinggapi mimpi-mimpi bahkan tiap sudut pikiran Tirta.

---...---

Sudah dua hari Tirta di Bandung, tapi ia belum dapat melepaskan beban berat yang telah ditanggungnya bertahun-tahun. Ada bagian dari hati Tirta yang menyesal karena telah membuka buku harian Dinda dan memutuskan untuk pulang ke Bandung. Tapi bagian lain dari hatinya mengatakan kalau ia harus menyelesaikan masalah ini.
Tirta tak tahu harus ke mana lagi. Dinda sudah meninggal. Orang tua dan keluarga Dinda juga entah ke mana. Semua bagian dari kisah masa lalunya seakan menghilang, tapi tidak rasa sesak dalam hati Tirta.
Sekarang Tirta hanya berdiri dan terpaku. Ia memutuskan untuk pergi ke makam Dinda. Ia menatap nisan Dinda dengan perasaan yang bercampur aduk. Buku itu telah habis dibaca. Namun tidak semua ia baca karena halaman terakhir dalam buku itu hilang, dirobek oleh seseorang. Tirta terpukul. Ia menjadi tambah yakin kalau Dinda tak akan pernah memaafkan dirinya.
“Aku cinta banget sama kamu Din. Aku ngga pernah bermaksud nyakitin kamu. Aku sayang sama kamu…”
Air mata Tirta tumpah. Ia berlutut dan mengusap nisan itu seakan ia mengusap wajah Dinda.
“Dinda…”
Bibir Tirta kelu. Ia ingin berdamai dengan Dinda, dengan masa lalunya. Ia berharap Dinda akan memberi tanda, tanda bahwa ia telah memaafkan Tirta. Tapi alam terdiam. Yang ada hanya suara angin yang merontokkan daun-daun di daerah pemakaman itu. Tidak ada perasaan hangat apalagi rasa tenang dalam hati Tirta.

---...---

Tirta menyerah. Masa lalu sudah merenggut masa depannya. Rasa bersalah dan penyesalan akan selalu menemaninya. Setidaknya itulah yang ada dalam pikirannya saat ini. Besok ia akan kembali ke Jakarta. Hidup harus terus berlanjut baginya, walaupun itu akan dipenuhi hari-hari yang kelam dan penuh penyesalan. ‘Seperti biasa,’ pikir Tirta. Seperti biasa.
Malamnya sebelum Tirta tidur. Ibu Tirta datang ke kamarnya.
“Ibu ngga tahan melihat kamu seperti ini. Bertahun-tahun ibu kira kamu sudah melupakan masalah ini… Dulu waktu kamu diberi tahu soal kematian Dinda, kamu ngga banyak berkomentar. Ibu ngga tahu ternyata hatimu benar-benar sakit.”
Ibu Tirta menggenggam tangan anaknya. Anak kecilnya yang selalu berusaha ia lindungi. Ia rela melakukan apa saja untuk menjaga anaknya ini.
“Dari dulu Ibu berusaha melindungi kamu, nak. Dan Ibu pikir dengan menyembunyikan ini dari kamu Ibu berusaha melindungi kamu. Tapi Ibu salah…”
Ibu Tirta memberikan sebuah amplop putih yang kusam ke tangan Tirta. Tirta diam menatap amplop itu.
“Waktu itu Dinda datang dan memberikan amplop itu. Ia titip buat kamu kalau kamu pulang ke Bandung. Itu terakhir kali Ibu melihat Dinda. Besoknya Ibu dapat kabar kalau ia bunuh diri. Ibu tidak pernah memberikan amplop itu ke kamu karena Ibu merasa kalau isi amplop itu akan membuat kamu tambah sakit. Tapi Ibu salah, masalahmu dengan Dinda justru ngga pernah selesai. Ibu minta maaf,” ucap Ibu Tirta dengan mata yang berkaca-kaca.
Ibu Tirta pun berjalan keluar dari kamar Tirta, meninggalkan Tirta sendiri dengan sebuah amplop di tangannya. Perlahan Tirta membuka amplop itu dan mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Ternyata itu halaman terakhir dari buku harian Dinda. Tirta mulai membaca tulisan tangan Dinda di atas kertas itu. Air mata Tirta tumpah tak tertahankan lagi.

Tir, aku minta maaf. Aku ngga tahan lagi. Aku malu sama keluargaku, aku malu sama teman-temanku, aku malu sama diriku sendiri, aku malu sama kamu… Aku diperkosa sama ayah tiriku. Aku malu… Aku ngga mau kamu tahu. Aku sayang banget sama kamu dan aku ngga mau berpisah dari kamu, tapi aku udah ngga tahan Tir. Aku juga ngga sanggup melahirkan anak ini, apalagi kalau orang-orang sampai tahu kalau ini akibat perbuatan ayah tiriku. Tapi sekarang aku ngga peduli lagi apa kata orang. Yang penting buat aku sekarang, kamu tahu yang sebenarnya… Hidup ini kejam buat aku Tir. Aku ngga pernah bisa mendapat apa yang selalu aku inginkan, bahkan untuk bertemu dengan kamu terakhir kalinya dan minta maaf sama kamu. Aku minta maaf Tir…
Aku minta maaf buat semuanya…


Tirta menggenggam surat itu dengan erat. Rasa sesal dan segala bentuk siksaan dalam hatinya perlahan memudar. Ia masih sedih atas apa yang menimpa Dinda, tapi setidaknya keinginan terakhir Dinda telah terpenuhi. Tirta akhirnya tahu kebenaran yang telah tersimpan selama bertahun-tahun. Ia tidak menyalahkan Ibunya yang telah menyembunyikan hal ini. Ia juga tidak menyalahkan Dinda atas keputusan yang telah diambilnya. Masa lalu baginya tidak akan mati, dia akan hidup sebagai pribadi yang menjadi bagian dari dirinya. Pribadi yang ia kenal dan tidak akan ia lupakan…

-LSy-